Generasi Emas

Diposting oleh Asrofi on Selasa, 10 Februari 2015

Generasi Emas Vs Seks Bebas
Cita-cita luhur bangsa Indonesia tercinta yang tercantum secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV. Salah satu strategi untuk mempercepat terwujudnya cita-cita bangsa dan negara adalah dengan mempersiapkan generasi masa depan yang tangguh, cerdas, mandiri dan berpegang teguh pada nilai-nilai spiritualitas (diistilahkan Mendikbud sebagai "generasi emas" ). Dalam rangka mewujudkan kondisi tersebut, pemerintah melalaui Kemendikbud melakukan perubahan-perubahan dan pembaharuan serta inovasi dalam bidang pendidikan yakni dengan lahirlah Kurikulum 2013 untuk menjawab tantangan dan pergesesaran paradigma pembangunan Abad XXI, menyongsong era seratus tahun (2045) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta.
     Sementara dengan digulirkannya Proyek PKN 2013 yang kontraproduktif tersebut, sungguh sangat sulit dipahami, ke mana arah tujuan pembangunan bangsa. Di samping meningkatnya public distrus, proyek kontradiktif tersebut menimbulkan beragam permasalahan besar.
Satu, ketika para remaja mendapatkan kondom secara gratis, indikatornya mereka jelas diberikan kesempatan untuk melakukan perbuatan amoral, yang di dalam ajaran agama apapun perilaku seks bebas merupakan perbuatan terlarang.  Dua, fenomena ini menunjukkan bahwa dalam era reformasi ini, eksistensi dan penetrasi virus neoliberalisme masih terus menyerang kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, menenggelamkan adat istiadat dan nilai-nilai luhur bangsa.
Tiga, "sindrom kentut" yang melekat pada para pengambil kebijakan Proyek PKN, terutama jika memang benar KPAN dan Kemenkes RI  menolak bertanggung jawab atas proyek ini (Pelita Online, edisi 4/12 ), maka dapat dikategorikan masuk dalam kelompok golongan orang-orang non pribumi, karena tindakan semacam ini sepadan dengan yang pernah diungkapkan oleh John Lie Pahlawan Nasional keturunan Tionghoa. "Orang pribumi adalah orang-orang Pancasilais, Saptamargais yang jelas-jelas membela kepentingan bangsa dan negara. Sedangkan orang non pribumi adalah mereka yang suka korupsi dan merugikan kepentingan nasional".  Megaproyek PKN 2013 jelas merugikan kepentingan bangsa, menghancurkan sendi-sendi budaya nasional.
Empat, secara filosofis, proyek PKN 2013 adalah bentuk pelecehan terhadap sendi dan Dasar-Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945. Karena paradigma kebijakannya meniadakan  nilai religi. Sedangkan Indonesia adalah negara religius yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai ajaran agama dalam setiap kebijakan pembangunannya.
     Menyikapi kondisi semacam ini, teringat pada filosof-filosof besar dunia seperti Albert Enstin dan Max Planckilmuwan besar fisika Abad XX yang mengakui pentingnya agama dalam pencarian ilmu. Mereka yakin bahwa tidak ada seorangpun mampu mendapatkan kebenaran alam semesta, jika ia tidak tergugah dan takjub mengagumi alam semesta (Republika,  4/12 ). Pesan pentingnya adalah, orang-orang sebesar Albert Enstein dan Max Planck yang konon lahir dan tinggal di negara sekuler saja tidak pernah meninggalkan ajaran agama, tapi mengapa pengambil kebijakan PKN 2013 justru menisbikan nilai keagamaan ini?
Sebagai koreksinya, seharusnya setiap kebijakan pablik mempertimbangkan nilai-nilai budaya bangsa dan ajaran agama. Indonesia merupakan negara besar, benarkah? Menjadi kontradiktif bila "sindrom kentut" proyek PKN 2013 memiliki kohesivitas dengan ungkapan Wiston Churchill, "the price of greatness is responsibility". Bahwa sebuah bangsa besar ditentukan oleh kebesaran para pemimpinnya dan juga kebesaran segenap warganya. Maka dengan kasus yang sangat fenomenal pengaruhnya terhadap keberlansungan pembangunan bangsa menuju terwujudnya generasi emas, kontroversi mengenai proyek PKN 2013 dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)
 
Drs. Asrofi, MM, Wakil Kepala Sekolah SMPN 24 Jakarta

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

 

Popular Posts

Pengikut