HARIAN PELITA
Ironi Proyek Kondom Nasional
Oleh Asrofi
SIKAP dan perilaku tidak mau ber-
tanggung jawab manakala terjadi
kesalahan atas kebijakan publik
kini semakin jamak terjadi di berbagai
birokrasi. Bahkan ada indikasi kuat bah-
wa perilaku buruk di atas malah men-
jadi budaya di kalangan para pemimpin
bangsa. Buktinya, banyak pemimpin
malah saling menuding atau melempar
tanggung jawab ketika terjadi kesalahan.
Gelombang suara rakyat memprotes
kebijakan pemerintah tentang Pekan
Kondom Nasional (PKN) 2013. Proyek
yang terkesan "amat menjijikan" ini
akhirnya menuai sindrom "minus" bagi
pencetus proyek tersebut. Bahkan, Komi-
si Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
dan Menteri Kesehatan RI menepis keter-
libatan mereka dalam proyek yang meng-
habiskan dana miliaran rupiah tersebut.
Todd Callahan, Direktur DKT Indone-
sia, sangat menyayangkan kejadian ini.
Padahal, sebagaimana diketahui, PKN
2013 adalah kerjasama KPAN dengan
DKT Indonesia. Bahkan, perusahaan asal
Washington, Amerika Serikat, ini sudah
menjalin kerja sama dengan Kementeri-
an Kesehatan sejak 2007. Lantas siapak-
ah penanggung jawab proyek "mega kon-
dom" yang memporak-porandakan ke-
hidupan bangsa?
Siapa pula yang berani menanggung
risiko berat kalau kehidupan seks bebas
(free sex) di Indonesia semakin meluas?
KPAN, beranikah? Apakah Menteri Kes-
ehatan berani bersikap "ksatria"? Atau
DKT Indonesia, punya nyalikah? Bangsa
ini bisa saja terjangkiti "sindrom kentut"
atau "sindrom bukan saya".
Generasi emas dan seks bebas
Cita-cita luhur bangsa Indonesia ter-
cantum secara jelas dalam Pembukaan
UUD 1945 Alinea IV. Salah satu strate-
gi untuk mempercepat terwujudnya cita-
cita bangsa dan negara itu adalah den-
gan mempersiapkan generasi masa de-
pan yang tangguh, cerdas, mandiri, dan
berpegang teguh kepada nilai-nilai spir-
itualitas (diistilahkan Menteri Pendidi-
kan dan Kebudayaan sebagai "genera-
si emas").
Dalam rangka mewujudkan kondisi
tersebut, pemerintah melalui Kementeri-
an Pendidikan dan Kebudayaan melaku-
kan perubahan dan pembaharuan serta
inovasi dalam bidang pendidikan, yak-
ni dengan melahirkan Kurikulum 2013
untuk menjawab tantangan dan perge-
sesaran paradigma pembangunan Abad
ke-21, menyongsong era seratus tahun
Indonesia.
Maka, dengan Proyek PKN 2013 yang
kontraproduktif tersebut, sungguh su-
lit dipahami, ke mana arah tujuan pem-
bangunan bangsa. Di samping mening-
katnya ketidakpercayaan publik, proyek
kontradiktif tersebut menimbulkan bera-
gam permasalahan besar.
Satu, ketika mendapatkan kondom se-
cara gratis, para remaja jelas diberi ke-
sempatan untuk melakukan perbuatan
amoral. Dalam ajaran agama apa pun,
perilaku seks bebas merupakan per-
buatan terlarang. Dua, fenomena ini
menunjukkan bahwa dalam era reforma-
si, eksistensi dan penetrasi virus neolib-
eralisme masih terus menyerang kehidu-
pan masyarakat, menenggelamkan adat
istiadat, dan nilai-nilai luhur bangsa.
Tiga, "sindrom kentut" yang melekat
pada para pengambil kebijakan Proyek
PKN, terutama jika memang benar
KPAN dan Kementerian Kesehatan me-
nolak bertanggung jawab atas proyek
ini. Maka, mereka dapat dikategorikan
masuk dalam kelompok golongan orang-
orang "non-pribumi". Sebab, tindakan
semacam ini sepadan dengan yang per-
nah diungkapkan oleh John Lie, pahl-
awan nasional keturunan Tionghoa:
"Orang pribumi adalah orang-orang Pan-
casilais, Saptamargais yang jelas-jelas
membela kepentingan bangsa dan nega-
ra. Sedangkan orang non-pribumi adalah
mereka yang suka korupsi dan merugi-
kan kepentingan nasional." Megaproyek
PKN 2013 jelas merugikan kepentingan
bangsa, menghancurkan sendi-sendi bu-
daya nasional.
Empat, secara filosofis, proyek PKN
2013 adalah bentuk pelecehan terhadap
sendi dan dasar Negara Pancasila dan
UUD 1945. Sebab, paradigma kebijakan-
nya meniadakan nilai religius. Sedan-
gkan Indonesia adalah negara religius
yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai aja-
ran agama dalam setiap kebijakan pem-
bangunannya.
Menyikapi kondisi semacam ini, saya
teringat kepada tokoh besar dunia sep-
erti Albert Einstein dan Max Planck—il-
muwan besar fisika Abad ke-20—yang
mengakui pentingnya agama dalam pen-
carian ilmu. Mereka yakin bahwa tidak
ada seorang pun mampu mendapatkan
kebenaran alam semesta jika tidak ter-
gugah dan takjub mengagumi alam se-
mesta. Pesan pentingnya adalah, orang-
orang sebesar Einstein dan Planck yang
konon lahir dan tinggal di negara sekul-
er saja tidak pernah meninggalkan aja-
ran agama tapi mengapa pengambil ke-
bijakan PKN 2013 justru menisbikan ni-
lai keagamaan ini?
Sebagai koreksi, seharusnya setiap ke-
bijakan pablik mempertimbangkan nilai
budaya bangsa dan ajaran agama. In-
donesia merupakan negara besar, bena-
rkah? Menjadi kontradiktif bila "sin-
drom kentut" proyek PKN 2013 memi-
liki kohesivitas dengan ungkapan Wis-
ton Churchill, "the price of greatness is
responsibility". Bahwa sebuah bangsa
besar ditentukan oleh kebesaran para
pemimpinnya dan juga kebesaran sege-
nap warganya. Maka dengan kasus yang
sangat fenomenal pengaruhnya terhadap
keberlangsungan pembangunan bang-
sa menuju terwujudnya generasi emas,
kontroversi mengenai proyek PKN 2013
dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
(Penulis adalah Wakil Kepala Seko-
lah SMPN 24 Jakarta)
tanggung jawab manakala terjadi
kesalahan atas kebijakan publik
kini semakin jamak terjadi di berbagai
birokrasi. Bahkan ada indikasi kuat bah-
wa perilaku buruk di atas malah men-
jadi budaya di kalangan para pemimpin
bangsa. Buktinya, banyak pemimpin
malah saling menuding atau melempar
tanggung jawab ketika terjadi kesalahan.
Gelombang suara rakyat memprotes
kebijakan pemerintah tentang Pekan
Kondom Nasional (PKN) 2013. Proyek
yang terkesan "amat menjijikan" ini
akhirnya menuai sindrom "minus" bagi
pencetus proyek tersebut. Bahkan, Komi-
si Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
dan Menteri Kesehatan RI menepis keter-
libatan mereka dalam proyek yang meng-
habiskan dana miliaran rupiah tersebut.
Todd Callahan, Direktur DKT Indone-
sia, sangat menyayangkan kejadian ini.
Padahal, sebagaimana diketahui, PKN
2013 adalah kerjasama KPAN dengan
DKT Indonesia. Bahkan, perusahaan asal
Washington, Amerika Serikat, ini sudah
menjalin kerja sama dengan Kementeri-
an Kesehatan sejak 2007. Lantas siapak-
ah penanggung jawab proyek "mega kon-
dom" yang memporak-porandakan ke-
hidupan bangsa?
Siapa pula yang berani menanggung
risiko berat kalau kehidupan seks bebas
(free sex) di Indonesia semakin meluas?
KPAN, beranikah? Apakah Menteri Kes-
ehatan berani bersikap "ksatria"? Atau
DKT Indonesia, punya nyalikah? Bangsa
ini bisa saja terjangkiti "sindrom kentut"
atau "sindrom bukan saya".
Generasi emas dan seks bebas
Cita-cita luhur bangsa Indonesia ter-
cantum secara jelas dalam Pembukaan
UUD 1945 Alinea IV. Salah satu strate-
gi untuk mempercepat terwujudnya cita-
cita bangsa dan negara itu adalah den-
gan mempersiapkan generasi masa de-
pan yang tangguh, cerdas, mandiri, dan
berpegang teguh kepada nilai-nilai spir-
itualitas (diistilahkan Menteri Pendidi-
kan dan Kebudayaan sebagai "genera-
si emas").
Dalam rangka mewujudkan kondisi
tersebut, pemerintah melalui Kementeri-
an Pendidikan dan Kebudayaan melaku-
kan perubahan dan pembaharuan serta
inovasi dalam bidang pendidikan, yak-
ni dengan melahirkan Kurikulum 2013
untuk menjawab tantangan dan perge-
sesaran paradigma pembangunan Abad
ke-21, menyongsong era seratus tahun
Indonesia.
Maka, dengan Proyek PKN 2013 yang
kontraproduktif tersebut, sungguh su-
lit dipahami, ke mana arah tujuan pem-
bangunan bangsa. Di samping mening-
katnya ketidakpercayaan publik, proyek
kontradiktif tersebut menimbulkan bera-
gam permasalahan besar.
Satu, ketika mendapatkan kondom se-
cara gratis, para remaja jelas diberi ke-
sempatan untuk melakukan perbuatan
amoral. Dalam ajaran agama apa pun,
perilaku seks bebas merupakan per-
buatan terlarang. Dua, fenomena ini
menunjukkan bahwa dalam era reforma-
si, eksistensi dan penetrasi virus neolib-
eralisme masih terus menyerang kehidu-
pan masyarakat, menenggelamkan adat
istiadat, dan nilai-nilai luhur bangsa.
Tiga, "sindrom kentut" yang melekat
pada para pengambil kebijakan Proyek
PKN, terutama jika memang benar
KPAN dan Kementerian Kesehatan me-
nolak bertanggung jawab atas proyek
ini. Maka, mereka dapat dikategorikan
masuk dalam kelompok golongan orang-
orang "non-pribumi". Sebab, tindakan
semacam ini sepadan dengan yang per-
nah diungkapkan oleh John Lie, pahl-
awan nasional keturunan Tionghoa:
"Orang pribumi adalah orang-orang Pan-
casilais, Saptamargais yang jelas-jelas
membela kepentingan bangsa dan nega-
ra. Sedangkan orang non-pribumi adalah
mereka yang suka korupsi dan merugi-
kan kepentingan nasional." Megaproyek
PKN 2013 jelas merugikan kepentingan
bangsa, menghancurkan sendi-sendi bu-
daya nasional.
Empat, secara filosofis, proyek PKN
2013 adalah bentuk pelecehan terhadap
sendi dan dasar Negara Pancasila dan
UUD 1945. Sebab, paradigma kebijakan-
nya meniadakan nilai religius. Sedan-
gkan Indonesia adalah negara religius
yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai aja-
ran agama dalam setiap kebijakan pem-
bangunannya.
Menyikapi kondisi semacam ini, saya
teringat kepada tokoh besar dunia sep-
erti Albert Einstein dan Max Planck—il-
muwan besar fisika Abad ke-20—yang
mengakui pentingnya agama dalam pen-
carian ilmu. Mereka yakin bahwa tidak
ada seorang pun mampu mendapatkan
kebenaran alam semesta jika tidak ter-
gugah dan takjub mengagumi alam se-
mesta. Pesan pentingnya adalah, orang-
orang sebesar Einstein dan Planck yang
konon lahir dan tinggal di negara sekul-
er saja tidak pernah meninggalkan aja-
ran agama tapi mengapa pengambil ke-
bijakan PKN 2013 justru menisbikan ni-
lai keagamaan ini?
Sebagai koreksi, seharusnya setiap ke-
bijakan pablik mempertimbangkan nilai
budaya bangsa dan ajaran agama. In-
donesia merupakan negara besar, bena-
rkah? Menjadi kontradiktif bila "sin-
drom kentut" proyek PKN 2013 memi-
liki kohesivitas dengan ungkapan Wis-
ton Churchill, "the price of greatness is
responsibility". Bahwa sebuah bangsa
besar ditentukan oleh kebesaran para
pemimpinnya dan juga kebesaran sege-
nap warganya. Maka dengan kasus yang
sangat fenomenal pengaruhnya terhadap
keberlangsungan pembangunan bang-
sa menuju terwujudnya generasi emas,
kontroversi mengenai proyek PKN 2013
dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
(Penulis adalah Wakil Kepala Seko-
lah SMPN 24 Jakarta)
HARIAN PELITA
Pembinaan Guru PAI
Oleh Asrofi
Kementerian
Pendidkan dan
Kebudayaan akan
mengambil alih urusan
guru setelah ternyata
otonomi daerah dalam
hal pendidikan tidak
berjalan dengan
baik. Urusan yang
ditangani pusat
mencakup perekrutan,
pembinaan,
pendistribusian,
hingga penyaluran
tunjangan sertifikasi.
Lantas, bagaimana
nasib 168.184 guru
Pendidikan Agama
Islam pada sekolah
umum? Apakah
Kementerian Agama
akan seiring sejalan
dengan Kemendikbud?
Pendidkan dan
Kebudayaan akan
mengambil alih urusan
guru setelah ternyata
otonomi daerah dalam
hal pendidikan tidak
berjalan dengan
baik. Urusan yang
ditangani pusat
mencakup perekrutan,
pembinaan,
pendistribusian,
hingga penyaluran
tunjangan sertifikasi.
Lantas, bagaimana
nasib 168.184 guru
Pendidikan Agama
Islam pada sekolah
umum? Apakah
Kementerian Agama
akan seiring sejalan
dengan Kemendikbud?
DERETAN panjang kompleksitas
permasalahan guru PAI seolah
tak berujung. Dari mulai sia-pa yang wajib mengadakan perekrutan
guru PAI? Dimana harus didistribusi-kan? Bagaimana pembinaan selama ini
berjalan? Sudahkah pengawas agama
mengadakan pembinaan dengan benar?
Kelangkaan guru PAI
Berdasarkan Peraturan Menteri
Agama Nomor 16 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Pendidikan Agama pada
Sekolah, kewenangan pengadaan guru
PAI pada sekolah dilakukan oleh ke-menterian dan atau pemerintah dae-rah, sebagaimana termaktub dalam pas-al 14 ayat 1 dan 2. Realitas di lapan-gan amanah yang tertuang dalam Per-aturan Menteri ini tidak terimplementa-si sebagaimana mestinya.
Perkembangan untuk lima tahun ke
depan guru PAI pada sekolah umum
akan mengalami kelangkaan. Menga-pa demikian?
Satu, ketika Kementerian Agama
mengadakan perekrutan CPNS, jus-tru terjadi kontroversi dengan amanah
Peraturan Menteri tersebut, yakni guru
honorer PAI yang lulus seleksi CPNS Ke-menterian Agama tidak otomatis me-nerima penugasan di sekolah umum
tetapi ditempatkan pada madrasah (MI/
MTs/MA).
Dua, berdasarkan data yang ada,
guru PAI ber-NIP daerah masih pada
kisaran di bawah sepuluh persen.
Hal ini menunjukan minimnya perha-tian pemerintah daerah terhadap ke-beradaan guru PAI.
Eksistensi guru honorer
Proses perjalanan pendidikan agama
pada sekolah seolah berjalan tanpa riuh
gemuruh suara jeritan yang menggeliat.
Ini karena eksistensi guru-guru honor-er tidak dapat dipandang sebelah mata.
Betapa tingginya peran mereka dalam
menjaga keberadaan pendidikan agama
di sekolah. Sehingga sudah sepatutnya
pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Agama, berterima kasih kepada mereka.
Bertahun-tahun bahkan puluhan ta-hun mereka hanya menunggu segera
diangkat. Tapi itu hanya sebuah mim-pi belaka. Jangan biarkan mereka (seki-tar 52.933 guru PAI Honorer) terlantar.
Jika menelantarkan kehidupan mereka,
maka Kementerian Agama dan pemerin-tah daerah telah mengabaikan amanah
UUD 1945, khususnya Pasal 33 ten-tang kesejahteraan sosial dan undang-undang serta peraturan terkait.
Kemudian berkaitan dengan tena-ga honorer, ini menjadi tanggung jaw-ab pemerintah secara umum bila kita
mengacu kepada PP Nomor 56 Tahun
2012 Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi:
Dokter yang telah selesai atau sedang
melaksanakan tugas sebagai tenaga ti-dak tetap atau sebagai tenaga honorer
pada fasilitas pelayanan kesehatan mi-lik pemerintah, dapat diaangkat men-jadi Calon Pegawai Negeri Sipil setelah
melalui pemeriksaan kelengkapan ad-ministrasi."
Apa perbedaan profesi dokter dengan
profesi guru atau lainnya?
Pengawas guru PAI
Peranan pengawas pendidikan agama
sungguh sangat dominan terhadap
perkembangan dan peningkatan mutu
para guru PAI di sekolah, yang tentun-ya akan berpengaruh lansung terhadap
kemajuan pendidikan agama dan tu-juan pendidikan nasional. Dilihat dari
sisi kewenangannya, apakah Pengawas
Pendidikan Agma (PPA) berbanding lu-rus dengan kinerja di lapangan?
Disamping sebagai mediator anta-ra sekolah dengan Kementerian Agama
kota/kabupaten yang akan melaporkan
bagaimana penyelenggaraan pendidikan
agama di sekolah, PPA juga berwenang
melakukan pemantauan, penilaian, dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan pen-didikan agama di sekolah, serta terlebih
penting lagi adalah melakukan pembi-naan guru-guru pendidikan agama.
Apakah kewenangan dan peran yang
sangat strategis itu berjalan sebagaima-na mestinya?
Satu, minimnya tatap muka PPA den-gan guru PAI mengindikasikan rendahn-ya intensitas upaya peningkatan pembi-naan profesionalisme guru PAI.
Dua, profesionalisme PPA di lapan-gan belum menunjukan kompetensin-ya yang kompetitif, sebagai seorang
manajer, supervisor, motivator, dan ino-vator.
Tiga, perekrutan PPA masih menga-cu kepada pasal 20 ayat (2) Permen
Agama RI Nomor 16 Tahun 2010, yaitu
PPA mayoritas diangkat dari guru ma-drasah, yang secara psikologis akan ber-pengaruh dalam melaksanakan tugas-nya dikarenakan lapangan yang dige-luti sekarang berbeda dengan lapangan
sebelumnya (MI/MTs/MA).
Demi keberlangsungan dan terwu-judnya mutu pendidikan agama yang
kompetitif dan berkualitas, ada bebera-pa langkah sebagai upaya deteksi dini
terhadap keberadaan dan perkemban-gan guru PAI.
Pertama, kontinuitas koordinasi yang
teragenda antarinstansi, dalam hal ini
Kementerian Agama provinsi dan kota/
kabupaten dengan pemerintah daerah
dan dinas pendidikan, sangat mendo-rong percepatan terwujudnya penye-lesaian terjadinya kelangkaan guru PAI
PNS di sekolah.
Kedua, untuk meminimalisasi ket-impangan hak guru PAI di sekolah, yak-ni hak struktural karir dan kesejehter-aan, maka sebaiknya perekrutan guru
PAI di sekolah dilakukan oleh pemerin-tah daerah atau Kemendikbud. Sehing-ga di sisi lain keberadaan guru PAI di
sekolah terjamin emansipasi sosialnya,
baik karir maupun kesejahteraannya.
Ketiga, konsekuensi logis dari per-juangan para guru PAI honorer di seko-lah kiranya dapat diminimalisasi keti-dakadilan terhadap mereka.
Keempat, perekrutan PPA sebaiknya
mengacu kepada Pasal 20 ayat (1) Per-men Agama RI Nomor 16 Tahun 2010
yang diawali sosialisasi yang merata dan
diselenggarakan secara transparan. (Pe
nulis adalah Wakil Kepala SMPN 24
Jakarta)
permasalahan guru PAI seolah
tak berujung. Dari mulai sia-pa yang wajib mengadakan perekrutan
guru PAI? Dimana harus didistribusi-kan? Bagaimana pembinaan selama ini
berjalan? Sudahkah pengawas agama
mengadakan pembinaan dengan benar?
Kelangkaan guru PAI
Berdasarkan Peraturan Menteri
Agama Nomor 16 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Pendidikan Agama pada
Sekolah, kewenangan pengadaan guru
PAI pada sekolah dilakukan oleh ke-menterian dan atau pemerintah dae-rah, sebagaimana termaktub dalam pas-al 14 ayat 1 dan 2. Realitas di lapan-gan amanah yang tertuang dalam Per-aturan Menteri ini tidak terimplementa-si sebagaimana mestinya.
Perkembangan untuk lima tahun ke
depan guru PAI pada sekolah umum
akan mengalami kelangkaan. Menga-pa demikian?
Satu, ketika Kementerian Agama
mengadakan perekrutan CPNS, jus-tru terjadi kontroversi dengan amanah
Peraturan Menteri tersebut, yakni guru
honorer PAI yang lulus seleksi CPNS Ke-menterian Agama tidak otomatis me-nerima penugasan di sekolah umum
tetapi ditempatkan pada madrasah (MI/
MTs/MA).
Dua, berdasarkan data yang ada,
guru PAI ber-NIP daerah masih pada
kisaran di bawah sepuluh persen.
Hal ini menunjukan minimnya perha-tian pemerintah daerah terhadap ke-beradaan guru PAI.
Eksistensi guru honorer
Proses perjalanan pendidikan agama
pada sekolah seolah berjalan tanpa riuh
gemuruh suara jeritan yang menggeliat.
Ini karena eksistensi guru-guru honor-er tidak dapat dipandang sebelah mata.
Betapa tingginya peran mereka dalam
menjaga keberadaan pendidikan agama
di sekolah. Sehingga sudah sepatutnya
pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Agama, berterima kasih kepada mereka.
Bertahun-tahun bahkan puluhan ta-hun mereka hanya menunggu segera
diangkat. Tapi itu hanya sebuah mim-pi belaka. Jangan biarkan mereka (seki-tar 52.933 guru PAI Honorer) terlantar.
Jika menelantarkan kehidupan mereka,
maka Kementerian Agama dan pemerin-tah daerah telah mengabaikan amanah
UUD 1945, khususnya Pasal 33 ten-tang kesejahteraan sosial dan undang-undang serta peraturan terkait.
Kemudian berkaitan dengan tena-ga honorer, ini menjadi tanggung jaw-ab pemerintah secara umum bila kita
mengacu kepada PP Nomor 56 Tahun
2012 Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi:
Dokter yang telah selesai atau sedang
melaksanakan tugas sebagai tenaga ti-dak tetap atau sebagai tenaga honorer
pada fasilitas pelayanan kesehatan mi-lik pemerintah, dapat diaangkat men-jadi Calon Pegawai Negeri Sipil setelah
melalui pemeriksaan kelengkapan ad-ministrasi."
Apa perbedaan profesi dokter dengan
profesi guru atau lainnya?
Pengawas guru PAI
Peranan pengawas pendidikan agama
sungguh sangat dominan terhadap
perkembangan dan peningkatan mutu
para guru PAI di sekolah, yang tentun-ya akan berpengaruh lansung terhadap
kemajuan pendidikan agama dan tu-juan pendidikan nasional. Dilihat dari
sisi kewenangannya, apakah Pengawas
Pendidikan Agma (PPA) berbanding lu-rus dengan kinerja di lapangan?
Disamping sebagai mediator anta-ra sekolah dengan Kementerian Agama
kota/kabupaten yang akan melaporkan
bagaimana penyelenggaraan pendidikan
agama di sekolah, PPA juga berwenang
melakukan pemantauan, penilaian, dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan pen-didikan agama di sekolah, serta terlebih
penting lagi adalah melakukan pembi-naan guru-guru pendidikan agama.
Apakah kewenangan dan peran yang
sangat strategis itu berjalan sebagaima-na mestinya?
Satu, minimnya tatap muka PPA den-gan guru PAI mengindikasikan rendahn-ya intensitas upaya peningkatan pembi-naan profesionalisme guru PAI.
Dua, profesionalisme PPA di lapan-gan belum menunjukan kompetensin-ya yang kompetitif, sebagai seorang
manajer, supervisor, motivator, dan ino-vator.
Tiga, perekrutan PPA masih menga-cu kepada pasal 20 ayat (2) Permen
Agama RI Nomor 16 Tahun 2010, yaitu
PPA mayoritas diangkat dari guru ma-drasah, yang secara psikologis akan ber-pengaruh dalam melaksanakan tugas-nya dikarenakan lapangan yang dige-luti sekarang berbeda dengan lapangan
sebelumnya (MI/MTs/MA).
Demi keberlangsungan dan terwu-judnya mutu pendidikan agama yang
kompetitif dan berkualitas, ada bebera-pa langkah sebagai upaya deteksi dini
terhadap keberadaan dan perkemban-gan guru PAI.
Pertama, kontinuitas koordinasi yang
teragenda antarinstansi, dalam hal ini
Kementerian Agama provinsi dan kota/
kabupaten dengan pemerintah daerah
dan dinas pendidikan, sangat mendo-rong percepatan terwujudnya penye-lesaian terjadinya kelangkaan guru PAI
PNS di sekolah.
Kedua, untuk meminimalisasi ket-impangan hak guru PAI di sekolah, yak-ni hak struktural karir dan kesejehter-aan, maka sebaiknya perekrutan guru
PAI di sekolah dilakukan oleh pemerin-tah daerah atau Kemendikbud. Sehing-ga di sisi lain keberadaan guru PAI di
sekolah terjamin emansipasi sosialnya,
baik karir maupun kesejahteraannya.
Ketiga, konsekuensi logis dari per-juangan para guru PAI honorer di seko-lah kiranya dapat diminimalisasi keti-dakadilan terhadap mereka.
Keempat, perekrutan PPA sebaiknya
mengacu kepada Pasal 20 ayat (1) Per-men Agama RI Nomor 16 Tahun 2010
yang diawali sosialisasi yang merata dan
diselenggarakan secara transparan. (Pe
nulis adalah Wakil Kepala SMPN 24
Jakarta)
Dibaca 8 kali
- See more at: http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2014/01/05/pembinaan-guru-pai#.Usqc-NIW32Q
HARIAN PELITA
Bencana dan Dehumanisasi
Oleh Asrofi
Mengamati
perilaku kehidupan
manusia dewasa
ini, berserakanlah
fenomena yang
mengidikasi
terjadinya degradasi
pemahaman diri
sebagai manusia.
Sehingga, dalam
mengarungi
predestinasinya (garis
hidup), manusia
tak mampu lagi
menapaki jejak yang
digariskan Sang
Pencipta. Fragmentasi
ini menggejala, baik
secara individual
maupun kelompok,
menghampiri seluruh
strata sosial.
perilaku kehidupan
manusia dewasa
ini, berserakanlah
fenomena yang
mengidikasi
terjadinya degradasi
pemahaman diri
sebagai manusia.
Sehingga, dalam
mengarungi
predestinasinya (garis
hidup), manusia
tak mampu lagi
menapaki jejak yang
digariskan Sang
Pencipta. Fragmentasi
ini menggejala, baik
secara individual
maupun kelompok,
menghampiri seluruh
strata sosial.
FREDERIK van Eaden yang diku-tip oleh Fachry Ali dalam buku
Agama, Islam dan Pembaharuan,
sangat kesal melihat ulah manusia mo-dern ini. Dia mengatakan, "Belum pernah
manusia terjebak dalam jala kusut kedu-staan yang besar seperti sekarang ini."
Persoalannya sekarang adalah faktor
apa yang menyebabkan fenomena ini
merebak di semua lini kehidpan?
H Ensering berkata, "Didikan yang di-dasarkan atas tuntutan ilmu pengeta-huan dan kebutuhan teknik ialah didi-kan yang mengutamakan perkemban-gan akal semata. Didikan yang mempu-nyai dasar demikian akan menghasilk-an orang cerdik dan pandai yang mem-punyai pikiran sehat tetapi mempunyai
asas pikiran yang salah dalam pandan-gan dunianya (worldview)."
Tentunya secara struktur, manusia se-cara organik tidak dapat dipisah-pisah-kan: didahulukan atau dipentingkan di
antara unsur-unsurnya. Sebab, ketika
satu unsur diutamakan dari unsur lain,
maka ketimpangan kehidupan menjadi
fakta. Di era informasi, perkembangan
iptek yang mengglobal sungguh dahsyat
ini berimplikasi terhadap kehidupan ma-nusia dalam kapasitasnya sebagai makh-luk material. Sebagai makhluk spiritual,
manusia pun makin jauh tersungkur ke
alam gelap gulita.
Fenomena ini juga menjadi bagian tak
terpisahkan dari perilaku masyarakat In-donesia. Di sinilah berawal terjadinya ke-hampaan dan kelumpuhan eksistensi
manusia (dehumanisasi).
Salah satu contoh adalah ketika
musim penghujan tiba. Derasnya air
mengguyur hampir seluruh wilayah Ta-nah Air. Masyarakat dibuat panik, tak
terkecuali yang tinggal di Ibukota. Pada-hal, hujan bentuk kasih sayang Tuhan
kepada makhluk-Nya. Hujan adalah rah-mat yang membawa berkah: tersimpan-nya air di bumi.
Persolannya, mengapa hujan menjadi
musibah (banjir)? Ini karena kesalahan
manusia dalam mengelola alam (hilang-nya kawasan resapan) dan menjadi sia-sialah air segar (hujan) yang seharusnya
akan membasuh kekeringan.
Apa yang kita alami terkait banjir ini,
menurut penulis, adalah bentuk kelum-puhan eksistensial manusia (dehuman-isasi). Inilah yang dikhawatirkan oleh
Karl Jaspers, seorang filosof eksistensi-alis. Dia mengatakan, "Despiritualization
of the word and its subjection to a regime."
(despiritualisasi dunia dan ketundukan-nya kepada rezim kemajuan teknologi).
Realitas inilah yang terjadi tatkala hujan
yang seharusnya menjadi berkah justru
berubah musibah. Ini karena dominasi
teknologi memandulkan kearifan manu-sia untuk hidup harmonis bersama alam.
Jauh sebelum Jaspers mengatakan
hal itu, al-Quran sudah memperingat-kan, "Pergunakanlah apa yang di muka
bumi ini sebagai rahmat Tuhan, akan
tetapi janganlah kalian menjadi perusak
di muka bumi).
Bagaimana kondisi alam kita seka-rang? Apakah dataran, lembah, sungai,
gunung, dan lautan yang ada di hada-pan kita semua masih signifikan den-gan fungsinya? Awan, angin, dan lain
sebagainya adalah ciptaan Tuhan yang
bergerak dan berubah mengikuti perin-tah-Nya. "Maka sekali-kali kamu tidak
akan menemui perubahan bagi Sunnah
Allah, dan sekali-kali tidak pula akan
menemui penyimpangannya bagi Sun-nah Allah itu," demikian firman Allah
dalam al-Quran.
Banjir yang melanda seluruh wilayah
Indonesia meluluhlantakan hasil keser-akahan manusia. Harta benda miliaran
rupiah hilang. Nyawa manusia melay-ang. Jakarta sebagai pusat pemerintah-an lumpuh total. Sudah seharusnya ini
menjadi bahan kontemplasi (renungan)
bersama sebagai refleksi kesadaran tran-sendental yang mewujud dalam perilaku
introspektif. (Penulis adalah Wakil Ke
pala SMPN 24 Jakarta)
Agama, Islam dan Pembaharuan,
sangat kesal melihat ulah manusia mo-dern ini. Dia mengatakan, "Belum pernah
manusia terjebak dalam jala kusut kedu-staan yang besar seperti sekarang ini."
Persoalannya sekarang adalah faktor
apa yang menyebabkan fenomena ini
merebak di semua lini kehidpan?
H Ensering berkata, "Didikan yang di-dasarkan atas tuntutan ilmu pengeta-huan dan kebutuhan teknik ialah didi-kan yang mengutamakan perkemban-gan akal semata. Didikan yang mempu-nyai dasar demikian akan menghasilk-an orang cerdik dan pandai yang mem-punyai pikiran sehat tetapi mempunyai
asas pikiran yang salah dalam pandan-gan dunianya (worldview)."
Tentunya secara struktur, manusia se-cara organik tidak dapat dipisah-pisah-kan: didahulukan atau dipentingkan di
antara unsur-unsurnya. Sebab, ketika
satu unsur diutamakan dari unsur lain,
maka ketimpangan kehidupan menjadi
fakta. Di era informasi, perkembangan
iptek yang mengglobal sungguh dahsyat
ini berimplikasi terhadap kehidupan ma-nusia dalam kapasitasnya sebagai makh-luk material. Sebagai makhluk spiritual,
manusia pun makin jauh tersungkur ke
alam gelap gulita.
Fenomena ini juga menjadi bagian tak
terpisahkan dari perilaku masyarakat In-donesia. Di sinilah berawal terjadinya ke-hampaan dan kelumpuhan eksistensi
manusia (dehumanisasi).
Salah satu contoh adalah ketika
musim penghujan tiba. Derasnya air
mengguyur hampir seluruh wilayah Ta-nah Air. Masyarakat dibuat panik, tak
terkecuali yang tinggal di Ibukota. Pada-hal, hujan bentuk kasih sayang Tuhan
kepada makhluk-Nya. Hujan adalah rah-mat yang membawa berkah: tersimpan-nya air di bumi.
Persolannya, mengapa hujan menjadi
musibah (banjir)? Ini karena kesalahan
manusia dalam mengelola alam (hilang-nya kawasan resapan) dan menjadi sia-sialah air segar (hujan) yang seharusnya
akan membasuh kekeringan.
Apa yang kita alami terkait banjir ini,
menurut penulis, adalah bentuk kelum-puhan eksistensial manusia (dehuman-isasi). Inilah yang dikhawatirkan oleh
Karl Jaspers, seorang filosof eksistensi-alis. Dia mengatakan, "Despiritualization
of the word and its subjection to a regime."
(despiritualisasi dunia dan ketundukan-nya kepada rezim kemajuan teknologi).
Realitas inilah yang terjadi tatkala hujan
yang seharusnya menjadi berkah justru
berubah musibah. Ini karena dominasi
teknologi memandulkan kearifan manu-sia untuk hidup harmonis bersama alam.
Jauh sebelum Jaspers mengatakan
hal itu, al-Quran sudah memperingat-kan, "Pergunakanlah apa yang di muka
bumi ini sebagai rahmat Tuhan, akan
tetapi janganlah kalian menjadi perusak
di muka bumi).
Bagaimana kondisi alam kita seka-rang? Apakah dataran, lembah, sungai,
gunung, dan lautan yang ada di hada-pan kita semua masih signifikan den-gan fungsinya? Awan, angin, dan lain
sebagainya adalah ciptaan Tuhan yang
bergerak dan berubah mengikuti perin-tah-Nya. "Maka sekali-kali kamu tidak
akan menemui perubahan bagi Sunnah
Allah, dan sekali-kali tidak pula akan
menemui penyimpangannya bagi Sun-nah Allah itu," demikian firman Allah
dalam al-Quran.
Banjir yang melanda seluruh wilayah
Indonesia meluluhlantakan hasil keser-akahan manusia. Harta benda miliaran
rupiah hilang. Nyawa manusia melay-ang. Jakarta sebagai pusat pemerintah-an lumpuh total. Sudah seharusnya ini
menjadi bahan kontemplasi (renungan)
bersama sebagai refleksi kesadaran tran-sendental yang mewujud dalam perilaku
introspektif. (Penulis adalah Wakil Ke
pala SMPN 24 Jakarta)
Dibaca 19 kali
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar