Artikel-artikel yg sudah pernah terbit di Harian Pelita

Diposting oleh Asrofi on Rabu, 11 Februari 2015

HARIAN PELITA
Ironi Proyek Kondom Nasional
Rabu, 1 Januari 2014 |http://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a-.pnghttp://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a+.png
Oleh Asrofi
SIKAP dan perilaku tidak mau ber-
tanggung  jawab  manakala  terjadi
kesalahan  atas  kebijakan  publik
kini  semakin  jamak  terjadi  di  berbagai
birokrasi. Bahkan ada indikasi kuat bah-
wa  perilaku  buruk  di  atas  malah  men-
jadi budaya di kalangan para pemimpin
bangsa.  Buktinya,  banyak  pemimpin
malah  saling  menuding  atau  melempar
tanggung jawab ketika terjadi kesalahan.
Gelombang  suara  rakyat  memprotes
kebijakan  pemerintah  tentang  Pekan
Kondom  Nasional  (PKN)  2013.  Proyek
yang  terkesan  "amat  menjijikan"  ini
akhirnya  menuai  sindrom  "minus"  bagi
pencetus proyek tersebut. Bahkan, Komi-
si Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
dan Menteri Kesehatan RI menepis keter-
libatan mereka dalam proyek yang meng-
habiskan dana miliaran rupiah tersebut.
Todd  Callahan,  Direktur  DKT  Indone-
sia,  sangat  menyayangkan  kejadian  ini.
Padahal,  sebagaimana  diketahui,  PKN
2013  adalah  kerjasama  KPAN  dengan
DKT Indonesia. Bahkan, perusahaan asal
Washington,  Amerika  Serikat,  ini  sudah
menjalin  kerja  sama  dengan  Kementeri-
an Kesehatan sejak 2007. Lantas siapak-
ah penanggung jawab proyek "mega kon-
dom"  yang  memporak-porandakan  ke-
hidupan bangsa?
Siapa  pula  yang  berani  menanggung
risiko berat kalau kehidupan seks bebas
(free  sex)  di  Indonesia  semakin  meluas?
KPAN,  beranikah?  Apakah  Menteri  Kes-
ehatan  berani  bersikap  "ksatria"?  Atau
DKT Indonesia, punya nyalikah? Bangsa
ini bisa saja terjangkiti "sindrom kentut"  
atau "sindrom bukan saya".
Generasi emas dan seks bebas
Cita-cita  luhur  bangsa  Indonesia  ter-
cantum  secara  jelas  dalam  Pembukaan
UUD  1945  Alinea  IV.  Salah  satu  strate-
gi untuk mempercepat terwujudnya cita-
cita  bangsa  dan  negara  itu  adalah  den-
gan  mempersiapkan  generasi  masa  de-
pan yang tangguh, cerdas, mandiri, dan
berpegang  teguh  kepada  nilai-nilai  spir-
itualitas  (diistilahkan  Menteri  Pendidi-
kan  dan  Kebudayaan  sebagai  "genera-
si emas").
Dalam  rangka  mewujudkan  kondisi
tersebut, pemerintah melalui Kementeri-
an Pendidikan dan Kebudayaan melaku-
kan perubahan dan pembaharuan serta
inovasi  dalam  bidang  pendidikan,  yak-
ni  dengan  melahirkan  Kurikulum  2013
untuk  menjawab  tantangan  dan  perge-
sesaran  paradigma  pembangunan  Abad
ke-21,  menyongsong  era  seratus  tahun
Indonesia.
Maka, dengan Proyek PKN 2013 yang
kontraproduktif  tersebut,  sungguh  su-
lit dipahami, ke mana arah tujuan pem-
bangunan  bangsa.  Di  samping  mening-
katnya  ketidakpercayaan  publik,  proyek
kontradiktif tersebut menimbulkan bera-
gam permasalahan besar.
Satu, ketika mendapatkan kondom se-
cara  gratis,  para  remaja  jelas  diberi  ke-
sempatan  untuk  melakukan  perbuatan
amoral.  Dalam  ajaran  agama  apa  pun,
perilaku  seks  bebas  merupakan  per-
buatan  terlarang.    Dua,  fenomena  ini
menunjukkan bahwa dalam era reforma-
si, eksistensi dan penetrasi virus neolib-
eralisme masih terus menyerang kehidu-
pan  masyarakat,  menenggelamkan  adat
istiadat, dan nilai-nilai luhur bangsa.
Tiga,  "sindrom  kentut"  yang  melekat
pada  para  pengambil  kebijakan  Proyek
PKN,  terutama  jika  memang  benar
KPAN  dan  Kementerian  Kesehatan  me-
nolak  bertanggung  jawab  atas  proyek
ini.  Maka,  mereka  dapat  dikategorikan
masuk dalam kelompok golongan orang-
orang  "non-pribumi".  Sebab,  tindakan
semacam  ini  sepadan  dengan  yang  per-
nah  diungkapkan  oleh  John  Lie,  pahl-
awan  nasional  keturunan  Tionghoa:
"Orang pribumi adalah orang-orang Pan-
casilais,  Saptamargais  yang  jelas-jelas
membela kepentingan bangsa dan nega-
ra. Sedangkan orang non-pribumi adalah
mereka  yang  suka  korupsi  dan  merugi-
kan  kepentingan  nasional."  Megaproyek
PKN  2013  jelas  merugikan  kepentingan
bangsa, menghancurkan sendi-sendi bu-
daya nasional.
Empat,  secara  filosofis,  proyek  PKN
2013 adalah bentuk pelecehan terhadap
sendi  dan  dasar  Negara  Pancasila  dan
UUD 1945. Sebab, paradigma kebijakan-
nya  meniadakan    nilai  religius.  Sedan-
gkan  Indonesia  adalah  negara  religius
yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai aja-
ran agama dalam setiap kebijakan pem-
bangunannya.
Menyikapi  kondisi  semacam  ini,  saya
teringat  kepada  tokoh  besar  dunia  sep-
erti  Albert  Einstein  dan  Max  Planck—il-
muwan besar fisika Abad ke-20—yang
mengakui pentingnya agama dalam pen-
carian  ilmu.  Mereka  yakin  bahwa  tidak
ada  seorang  pun  mampu  mendapatkan
kebenaran  alam  semesta  jika  tidak  ter-
gugah  dan  takjub  mengagumi  alam  se-
mesta.  Pesan  pentingnya  adalah,  orang-
orang sebesar Einstein dan Planck yang
konon lahir dan tinggal di negara sekul-
er  saja  tidak  pernah  meninggalkan  aja-
ran  agama  tapi  mengapa  pengambil  ke-
bijakan PKN 2013 justru menisbikan ni-
lai keagamaan ini?
Sebagai koreksi, seharusnya setiap ke-
bijakan  pablik  mempertimbangkan  nilai
budaya  bangsa  dan  ajaran  agama.  In-
donesia merupakan negara besar, bena-
rkah?  Menjadi  kontradiktif  bila  "sin-
drom  kentut"  proyek  PKN  2013  memi-
liki  kohesivitas  dengan  ungkapan  Wis-
ton  Churchill,  "the  price  of  greatness  is
responsibility".  Bahwa  sebuah  bangsa
besar  ditentukan  oleh  kebesaran  para
pemimpinnya  dan  juga  kebesaran  sege-
nap warganya. Maka dengan kasus yang
sangat fenomenal pengaruhnya terhadap
keberlangsungan  pembangunan  bang-
sa  menuju  terwujudnya  generasi  emas,
kontroversi  mengenai  proyek  PKN  2013
dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi
kehidupan  berbangsa  dan  bernegara.
(Penulis  adalah  Wakil  Kepala  Seko-
lah SMPN 24 Jakarta)

 
 
HARIAN PELITA
Pembinaan Guru PAI
Minggu, 5 Januari 2014 |http://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a-.pnghttp://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a+.png
Oleh Asrofi
Kementerian
Pendidkan dan
Kebudayaan akan
mengambil alih urusan
guru setelah ternyata
otonomi daerah dalam
hal pendidikan tidak
berjalan dengan
baik. Urusan yang
ditangani pusat
mencakup perekrutan,
pembinaan,
pendistribusian,
hingga penyaluran
tunjangan sertifikasi.
Lantas, bagaimana
nasib 168.184 guru
Pendidikan Agama
Islam pada sekolah
umum? Apakah
Kementerian Agama
akan seiring sejalan
dengan Kemendikbud?
DERETAN  panjang  kompleksitas
permasalahan  guru  PAI  seolah
tak  berujung.  Dari  mulai  sia-pa  yang  wajib  mengadakan  perekrutan
guru  PAI?  Dimana  harus  didistribusi-kan? Bagaimana pembinaan selama ini
berjalan?  Sudahkah  pengawas  agama
mengadakan pembinaan dengan benar?
Kelangkaan guru PAI
Berdasarkan  Peraturan  Menteri
Agama  Nomor  16  Tahun  2010  tentang
Pengelolaan  Pendidikan  Agama  pada
Sekolah,  kewenangan  pengadaan  guru
PAI  pada  sekolah  dilakukan  oleh  ke-menterian  dan  atau  pemerintah  dae-rah, sebagaimana termaktub dalam pas-al  14  ayat  1  dan  2.  Realitas  di  lapan-gan  amanah  yang  tertuang  dalam  Per-aturan Menteri ini tidak terimplementa-si sebagaimana mestinya.
Perkembangan  untuk  lima  tahun  ke
depan  guru  PAI  pada  sekolah  umum
akan  mengalami  kelangkaan.  Menga-pa demikian?  
Satu,  ketika  Kementerian  Agama
mengadakan  perekrutan  CPNS,  jus-tru  terjadi  kontroversi  dengan  amanah
Peraturan Menteri tersebut, yakni guru
honorer PAI yang lulus seleksi CPNS Ke-menterian  Agama  tidak  otomatis  me-nerima  penugasan  di  sekolah  umum
tetapi ditempatkan pada madrasah (MI/
MTs/MA).
Dua,    berdasarkan  data  yang  ada,
guru  PAI  ber-NIP  daerah  masih  pada
kisaran  di  bawah  sepuluh  persen.
Hal  ini  menunjukan  minimnya  perha-tian  pemerintah  daerah  terhadap  ke-beradaan guru PAI.
 Eksistensi guru honorer
Proses  perjalanan  pendidikan  agama
pada sekolah seolah berjalan tanpa riuh
gemuruh suara jeritan yang menggeliat.
Ini  karena  eksistensi  guru-guru  honor-er tidak dapat dipandang sebelah mata.
Betapa  tingginya  peran  mereka  dalam
menjaga keberadaan pendidikan agama
di  sekolah.  Sehingga  sudah  sepatutnya
pemerintah,  dalam  hal  ini  Kementerian
Agama, berterima kasih kepada mereka.
Bertahun-tahun  bahkan  puluhan  ta-hun  mereka  hanya  menunggu  segera
diangkat.  Tapi  itu  hanya  sebuah  mim-pi belaka. Jangan biarkan mereka (seki-tar 52.933 guru PAI Honorer) terlantar.
Jika menelantarkan kehidupan mereka,
maka Kementerian Agama dan pemerin-tah daerah telah mengabaikan amanah
UUD  1945,  khususnya  Pasal  33  ten-tang  kesejahteraan  sosial  dan  undang-undang serta peraturan terkait.
Kemudian  berkaitan  dengan  tena-ga  honorer,  ini  menjadi  tanggung  jaw-ab  pemerintah  secara  umum  bila  kita
mengacu  kepada  PP  Nomor  56  Tahun
2012  Pasal  5  ayat  1    yang  berbunyi:
Dokter  yang  telah  selesai  atau  sedang
melaksanakan  tugas  sebagai  tenaga  ti-dak  tetap  atau  sebagai  tenaga  honorer
pada  fasilitas  pelayanan  kesehatan  mi-lik  pemerintah,  dapat  diaangkat  men-jadi  Calon  Pegawai  Negeri  Sipil  setelah
melalui  pemeriksaan  kelengkapan  ad-ministrasi."
Apa perbedaan profesi dokter dengan
profesi guru atau lainnya?
Pengawas guru PAI
Peranan pengawas pendidikan agama
sungguh  sangat  dominan  terhadap
perkembangan dan  peningkatan  mutu
para guru PAI di sekolah, yang tentun-ya akan berpengaruh lansung terhadap
kemajuan  pendidikan  agama  dan  tu-juan  pendidikan  nasional.  Dilihat  dari
sisi  kewenangannya,  apakah  Pengawas
Pendidikan  Agma  (PPA)  berbanding  lu-rus dengan kinerja di lapangan?
Disamping  sebagai  mediator  anta-ra  sekolah  dengan  Kementerian  Agama
kota/kabupaten yang akan melaporkan
bagaimana penyelenggaraan pendidikan
agama di sekolah, PPA juga berwenang
melakukan pemantauan, penilaian, dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan pen-didikan agama di sekolah, serta terlebih
penting  lagi  adalah  melakukan  pembi-naan  guru-guru  pendidikan  agama.
Apakah  kewenangan  dan  peran  yang
sangat strategis itu berjalan sebagaima-na mestinya?
Satu, minimnya tatap muka PPA den-gan guru PAI mengindikasikan rendahn-ya intensitas upaya peningkatan pembi-naan profesionalisme guru PAI.
Dua,  profesionalisme  PPA  di  lapan-gan  belum  menunjukan  kompetensin-ya  yang  kompetitif,  sebagai  seorang
manajer, supervisor, motivator, dan ino-vator.
Tiga,  perekrutan  PPA  masih  menga-cu  kepada  pasal  20  ayat  (2)  Permen
Agama RI Nomor 16 Tahun 2010, yaitu
PPA mayoritas  diangkat dari guru ma-drasah, yang secara psikologis akan ber-pengaruh  dalam  melaksanakan  tugas-nya  dikarenakan  lapangan  yang  dige-luti sekarang berbeda dengan lapangan
sebelumnya (MI/MTs/MA).
Demi  keberlangsungan  dan  terwu-judnya  mutu  pendidikan  agama  yang
kompetitif dan berkualitas, ada bebera-pa  langkah  sebagai  upaya  deteksi  dini
terhadap  keberadaan  dan  perkemban-gan guru PAI.
Pertama, kontinuitas koordinasi yang
teragenda  antarinstansi,  dalam  hal  ini
Kementerian Agama provinsi dan kota/
kabupaten  dengan  pemerintah  daerah
dan  dinas  pendidikan,  sangat  mendo-rong    percepatan  terwujudnya  penye-lesaian  terjadinya  kelangkaan  guru  PAI
PNS di sekolah.
Kedua,  untuk  meminimalisasi  ket-impangan hak guru PAI di sekolah, yak-ni  hak  struktural  karir  dan  kesejehter-aan,  maka  sebaiknya  perekrutan  guru
PAI di sekolah dilakukan oleh pemerin-tah daerah atau Kemendikbud. Sehing-ga  di  sisi  lain  keberadaan  guru  PAI  di
sekolah  terjamin  emansipasi  sosialnya,
baik karir maupun kesejahteraannya.
Ketiga,  konsekuensi  logis  dari  per-juangan para guru PAI honorer di seko-lah  kiranya  dapat    diminimalisasi  keti-dakadilan terhadap mereka.
Keempat,  perekrutan  PPA  sebaiknya
mengacu kepada Pasal 20 ayat (1) Per-men  Agama  RI  Nomor  16  Tahun  2010
yang diawali sosialisasi yang merata dan
diselenggarakan secara transparan. (Pe­
nulis adalah Wakil Kepala SMPN 24
Jakarta)
Dibaca 8 kali
 
 

HARIAN PELITA

Bencana dan Dehumanisasi

Senin, 17 Februari 2014 |http://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a-.pnghttp://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a+.png
Oleh Asrofi
Mengamati  
perilaku kehidupan
manusia dewasa
ini, berserakanlah
fenomena yang
mengidikasi
terjadinya degradasi
pemahaman diri
sebagai manusia.
Sehingga, dalam
mengarungi
predestinasinya (garis
hidup), manusia
tak mampu lagi
menapaki jejak yang
digariskan Sang
Pencipta. Fragmentasi
ini menggejala, baik
secara individual
maupun kelompok,
menghampiri seluruh
strata sosial.
FREDERIK  van  Eaden  yang  diku-tip  oleh  Fachry  Ali  dalam  buku
Agama,  Islam  dan  Pembaharuan,
sangat  kesal  melihat  ulah  manusia  mo-dern ini. Dia mengatakan, "Belum pernah
manusia terjebak dalam jala kusut kedu-staan yang besar seperti sekarang ini."
Persoalannya  sekarang  adalah  faktor
apa  yang  menyebabkan  fenomena  ini
merebak di semua lini kehidpan?
H Ensering berkata, "Didikan yang di-dasarkan  atas  tuntutan  ilmu  pengeta-huan  dan  kebutuhan  teknik  ialah  didi-kan  yang  mengutamakan  perkemban-gan akal semata. Didikan yang mempu-nyai  dasar  demikian  akan  menghasilk-an  orang  cerdik  dan  pandai  yang  mem-punyai pikiran sehat tetapi  mempunyai
asas  pikiran  yang  salah  dalam  pandan-gan dunianya (worldview)."
Tentunya secara struktur, manusia se-cara  organik  tidak  dapat  dipisah-pisah-kan:  didahulukan  atau  dipentingkan  di
antara  unsur-unsurnya.  Sebab,  ketika
satu unsur diutamakan dari unsur lain,
maka  ketimpangan  kehidupan  menjadi
fakta.  Di  era  informasi,  perkembangan
iptek yang mengglobal sungguh dahsyat
ini berimplikasi terhadap kehidupan ma-nusia dalam kapasitasnya sebagai makh-luk material. Sebagai makhluk spiritual,
manusia pun makin jauh tersungkur ke
alam gelap gulita.
Fenomena ini juga menjadi bagian tak
terpisahkan dari perilaku masyarakat In-donesia. Di sinilah berawal terjadinya ke-hampaan  dan  kelumpuhan  eksistensi
manusia (dehumanisasi).
Salah  satu  contoh  adalah  ketika
musim  penghujan  tiba.  Derasnya  air
mengguyur  hampir  seluruh  wilayah  Ta-nah  Air.  Masyarakat  dibuat  panik,  tak
terkecuali yang tinggal di Ibukota. Pada-hal,  hujan  bentuk  kasih  sayang  Tuhan
kepada makhluk-Nya. Hujan adalah rah-mat  yang  membawa  berkah:  tersimpan-nya air di bumi.
Persolannya,  mengapa  hujan  menjadi
musibah  (banjir)?  Ini  karena  kesalahan
manusia  dalam  mengelola  alam  (hilang-nya  kawasan  resapan)  dan  menjadi  sia-sialah air segar (hujan) yang seharusnya
akan membasuh kekeringan.
Apa  yang  kita  alami  terkait  banjir  ini,
menurut penulis, adalah bentuk kelum-puhan  eksistensial  manusia  (dehuman-isasi).  Inilah  yang  dikhawatirkan  oleh
Karl Jaspers, seorang filosof eksistensi-alis.  Dia  mengatakan,  "Despiritualization
of the word and its subjection to a regime."
(despiritualisasi  dunia  dan  ketundukan-nya  kepada  rezim  kemajuan  teknologi).
Realitas inilah yang terjadi tatkala hujan
yang  seharusnya  menjadi  berkah  justru
berubah  musibah.  Ini  karena  dominasi
teknologi  memandulkan  kearifan  manu-sia untuk hidup harmonis bersama alam.
Jauh  sebelum  Jaspers  mengatakan
hal  itu,  al-Quran  sudah  memperingat-kan,  "Pergunakanlah  apa  yang  di  muka
bumi  ini  sebagai  rahmat  Tuhan,  akan
tetapi janganlah kalian menjadi perusak
di muka bumi).
Bagaimana  kondisi  alam  kita  seka-rang?  Apakah  dataran,  lembah,  sungai,
gunung,  dan  lautan  yang  ada  di  hada-pan  kita  semua  masih  signifikan  den-gan  fungsinya?  Awan,  angin,  dan  lain
sebagainya  adalah  ciptaan  Tuhan  yang
bergerak  dan  berubah  mengikuti  perin-tah-Nya.  "Maka  sekali-kali  kamu  tidak
akan  menemui  perubahan  bagi  Sunnah
Allah,  dan  sekali-kali  tidak  pula  akan
menemui  penyimpangannya  bagi  Sun-nah  Allah  itu,"  demikian  firman  Allah
dalam al-Quran.
Banjir  yang  melanda  seluruh  wilayah
Indonesia  meluluhlantakan  hasil  keser-akahan  manusia.  Harta  benda  miliaran
rupiah  hilang.  Nyawa  manusia  melay-ang.  Jakarta  sebagai  pusat  pemerintah-an  lumpuh  total.  Sudah  seharusnya  ini
menjadi  bahan  kontemplasi  (renungan)
bersama sebagai refleksi kesadaran tran-sendental yang mewujud dalam perilaku
introspektif. (Penulis adalah Wakil Ke­
pala SMPN 24 Jakarta)
Dibaca 19 kali

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

 

Popular Posts

Pengikut