Peran Konselor

Diposting oleh Asrofi on Rabu, 11 Februari 2015

Jalan Terjal Konselor di sekolah
Oleh :         A s r o f i
Terinspirasi oleh adanya beberapa peristiwa-peristiwa di sekolah yang terkadang peserta didik( siswa ) sebagai generasi penerus bangsa baik langsung atau tidak langsung terkena imbasnya.Pada medio september 2014 ini  pemberitaan terus bergulir menjadi perbincangan di beberapa media, yakni telah diberhentikannya 13 orang siswa  SMAN di Jakarta. Diberhentikannya siswa-siswa tersebut tentu telah melalui proses dan prosedur sesuai dengan peraturan yang belaku di sekolah. Begitu pentingnya aturan , nilai,moral, tata tertib dan pendisiplinan  dalam rangka  mewujudkan harkat dan matabat kehidupan manusia yang sejahtera.
 Upaya sekolah demi terwujudnya proses lingkungan belajar nyaman dan kondusif memberlakukan aturan dan disiplin sekolah,untuk menjaga prilaku siswa agar tidak menyimpang dari norma,aturan dan tata tertib sekolah. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prilaku siswa , diri sendiri, keluarga dan pergaulan di lingkungannya. Brown dan Brown(dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com ) mengelompokan beberapa penyebab prilaku siswa yang indisiplin yaitu: satu, Prilaku siswa tidak disiplin bisa disebabkan oleh guru.Dua, prilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh sekolah;kondisi sekolah yang kurang menyenangkan, kurang teratur dan lain-lain dapat menyebabkan prilaku yang kuran atau tidak disiplin.Tiga ,prilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh siswa,yakni siswa yang berasal dari keluarga yang broken home. Empat,   prilaku tidak disiplin bisa disebabkan oleh kurikulum. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah ( suci ) kedua orang tuanyalah atau lingkungannyalah yang akan membentuknya. ( al Hadits ).
Sudahkah guru-guru menunaikan tugasnya  secara profesional, mampu memberikan keteladanan pada peserta didiknya? jika seorang guru tidak mampu menerapkan disiplin dengan baik di dalam kelas, maka akan terjadi siswa kurang termotivasi dan tidak kondusif untuk mencapai prestasi belajar dan bisa terjadi penyimpangan –penyimpangan prilaku siswa. Begitu juga dengan sekolah, sudahkah sekolah benar-benar memberikan  lingkungan yang nyaman bagi siswa-siswinya? Benarkah siswa-siswa yang melakukan prilaku menyimpang disebabkan hanya oleh dirinya sendiri? Bagaimana dengan linkungan jakarta, yang makin keras..? Bagaimana peran guru Bimbingan dan Konseling sebagai mitra siswa dalam rangka menjaga prilaku siswa,sudahkah menunaikan tugasnya secara profesional...?
Peran Konselor di Sekolah
            Tujuan diterapkannya peraturan dan disiplin sekolah yakni, sebagai upaya terciptanya linkungan belajar yang nyaman dan kondusif. Sistem yang lazim diterapkan di sekolah menggunakan poin pelanggaran/kesalahan yaitu, ketika seorang siswa telah melanggar/atau melakukan sesuatu prilaku yang menyimpang dari aturan sekolah, maka siswa akan dikenakan kriddit poin pelanggaran sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama ( sekolah,ortu,siswa ) besar kecil poin tersebut tergantung dari pelanggarannya (1-100). Ketika poin sudah sampai jumlah tertentu ada sanksi yang dikenakan pada siswa, dan akhir dari poin pelanggaran yaitu telah terkumpul jumlah poin pelanggaran 100, maka siswa dikembalikan kepada orang tua. Bagaimana  peran guru Bimbingan dan Konseling (BK ) atau UU No. 20 /2003 menyebutnya Konselor di sekolah ?
            Realita di lapangan tanpa disadari peran konselor disekolah tidak sedikit yang terjebak pada pelaksanaan tugas dilematis disekolah , Keikutsertaannya dalam penyelenggaraan penghitungan poin pelanggaran,sebagai petugas pembuat perjanjian dan lainnya. Sehingga terbentuk kontradiksi persepsi siswa   terhadap peran koselor disekolah yaitu sebagai Polisi sekolah. Prayitno(1994:122 ) menjelaskan masih banyak anggapan bahwa Bimbingan dan Konseling/konselor yaitu: "Polisi Sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib displin  dan keamanan  sekolah. Anggapan ini mengatakan siapa yang melanggar peraturan sekolah harus beurusan dengan BK/konselor. Bahkan lebih jauh konselor mendapat tugas bagaikan intel karena diminta untuk mengungkap seluruh pelanggaran siswa , kalo perlu menghadirkan barang buktinya. Itu semua sungguh sangat bertentangan dengan peran dan funsi BK/ Koselor. Konselor disekolah harus menjadi teman dan kepercayaan siswa,tempat pencurahan kepentingan  siswa, pencurahan apa yang dirasa dan terpikirkan siswa. Mengapa permasalahan delimatis ini terjadi?
            Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya salah arah pelaksanaan tugas konselor di sekolah, yakni; pertama, faktor kepala sekolah. Kepsek merupakan menejer/pucuk pimpinan di sekolah terkadang memiliki paradigma berbeda secara subtansial, sehingga efektifitas dan produktifitas konselor disekolah menjadi tidak signifikan dengan peran dan fungsinya.  Dua , imbas dari minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang peran dan fungsi BK disekolah, maka terkadang ruang BK ditempatkan ruang yang kurang layak,atau ruangan yang tidak memenuhi standar minimal ruangan BK( konseling individu,konseling kelompok,ruang kerja dan pustaka ) Tiga, sistem yang kurang mendukung terlaksanayanya peran dan fungsi BK secara profesional, sehingga kurang terjalainnya keharmonisan BK dengan siswa sebagai mitra dalam pengembangan pribadinya,karena tidak berjalannya fungsi layanan BK sebagaimana mestinya.
Siswa Bukan Makanan
Siswa adalah manusia yang mempunyai hak dan kewajiban layaknya manusia lain diluar  sekolah. Siswa bukanlah makanan atau buah-buahan yang ketika sudah basi atau busuk tinggal buang saja, tanpa beban yang harus kita pertanggung jawabkan, karena memang makanan yang sudah basi atau buah yang sudah busuk itu apabila dimakan akan menimbulkan penyakit. Maka makanan atau buah busuk itu dibuang akan lebih bagus. Apakah harus demikian perlakuan terhadap siswa/siswi.....?
            Seiring dengan permasalahan tersebut, Prayitno ( 2002:83 ) menjelaskan lembaga pendidikan bukanlah lembaga hukum. Lembaga pendidikan adalah lembaga pengembangan pribadi,sedangkan lembaga hukum tempat dimana pelanggaran dan kesalahan dipermasalahkan,dikaji dan diproses sampai tuntas. Tujuan ahir pendidikan adalah terkembangnya potensi peserta didik seoptimal mungkin,sedangkan tujuan ahir lembaga hukum adalah jatuhnya vonis sebagai hukuman yang selanjutnya dijalani oleh siterdakwa yang melakukan kesalahan atau pelanggaran.
Optimalisasi
          Allah Swt Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna, berbagai sarana embaded pada dirinya,instink,akal , nafsu dan hati,tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan linkungan sekitar. Penetrasi media , merebaknya budaya kekerasan, glamor yang sangat destruktif  inheren pada penyimpangan prilaku siswa,merupakan dasar yang perlu diketahui oleh semua pihak, bahwa media berperan signifikan dalam terjadinya penyimpangan-penyimpan prilaku siswa. Oleh karena itu sebagai wujud komtemplasi bersama demi tegaknya disiplin siswa di sekolah ,namun tanpa menghambat perkembangan pribadi siswa dengan langka-langkah: satu, tegakkan kualitas pemahaman disiplin dan hormati hak pribadi siswa. Dua , tegakkan disiplin dengan senantiasa menjaga sifat kasih sayang. Tiga, menjaga hubungan tetap harmonis. Serta mampu mengoftimalkan peran konselor di sekolah, yakni, personil yang profesional , dapat berpegang pada azas-azas kerahasiaan ,keterbukaan dan kesukarelaan dengan komitmen positif distiap perubahan prilakunya. Amin

More aboutPeran Konselor

Artikel-artikel yg sudah pernah terbit di Harian Pelita

Diposting oleh Asrofi

HARIAN PELITA
Ironi Proyek Kondom Nasional
Rabu, 1 Januari 2014 |http://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a-.pnghttp://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a+.png
Oleh Asrofi
SIKAP dan perilaku tidak mau ber-
tanggung  jawab  manakala  terjadi
kesalahan  atas  kebijakan  publik
kini  semakin  jamak  terjadi  di  berbagai
birokrasi. Bahkan ada indikasi kuat bah-
wa  perilaku  buruk  di  atas  malah  men-
jadi budaya di kalangan para pemimpin
bangsa.  Buktinya,  banyak  pemimpin
malah  saling  menuding  atau  melempar
tanggung jawab ketika terjadi kesalahan.
Gelombang  suara  rakyat  memprotes
kebijakan  pemerintah  tentang  Pekan
Kondom  Nasional  (PKN)  2013.  Proyek
yang  terkesan  "amat  menjijikan"  ini
akhirnya  menuai  sindrom  "minus"  bagi
pencetus proyek tersebut. Bahkan, Komi-
si Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
dan Menteri Kesehatan RI menepis keter-
libatan mereka dalam proyek yang meng-
habiskan dana miliaran rupiah tersebut.
Todd  Callahan,  Direktur  DKT  Indone-
sia,  sangat  menyayangkan  kejadian  ini.
Padahal,  sebagaimana  diketahui,  PKN
2013  adalah  kerjasama  KPAN  dengan
DKT Indonesia. Bahkan, perusahaan asal
Washington,  Amerika  Serikat,  ini  sudah
menjalin  kerja  sama  dengan  Kementeri-
an Kesehatan sejak 2007. Lantas siapak-
ah penanggung jawab proyek "mega kon-
dom"  yang  memporak-porandakan  ke-
hidupan bangsa?
Siapa  pula  yang  berani  menanggung
risiko berat kalau kehidupan seks bebas
(free  sex)  di  Indonesia  semakin  meluas?
KPAN,  beranikah?  Apakah  Menteri  Kes-
ehatan  berani  bersikap  "ksatria"?  Atau
DKT Indonesia, punya nyalikah? Bangsa
ini bisa saja terjangkiti "sindrom kentut"  
atau "sindrom bukan saya".
Generasi emas dan seks bebas
Cita-cita  luhur  bangsa  Indonesia  ter-
cantum  secara  jelas  dalam  Pembukaan
UUD  1945  Alinea  IV.  Salah  satu  strate-
gi untuk mempercepat terwujudnya cita-
cita  bangsa  dan  negara  itu  adalah  den-
gan  mempersiapkan  generasi  masa  de-
pan yang tangguh, cerdas, mandiri, dan
berpegang  teguh  kepada  nilai-nilai  spir-
itualitas  (diistilahkan  Menteri  Pendidi-
kan  dan  Kebudayaan  sebagai  "genera-
si emas").
Dalam  rangka  mewujudkan  kondisi
tersebut, pemerintah melalui Kementeri-
an Pendidikan dan Kebudayaan melaku-
kan perubahan dan pembaharuan serta
inovasi  dalam  bidang  pendidikan,  yak-
ni  dengan  melahirkan  Kurikulum  2013
untuk  menjawab  tantangan  dan  perge-
sesaran  paradigma  pembangunan  Abad
ke-21,  menyongsong  era  seratus  tahun
Indonesia.
Maka, dengan Proyek PKN 2013 yang
kontraproduktif  tersebut,  sungguh  su-
lit dipahami, ke mana arah tujuan pem-
bangunan  bangsa.  Di  samping  mening-
katnya  ketidakpercayaan  publik,  proyek
kontradiktif tersebut menimbulkan bera-
gam permasalahan besar.
Satu, ketika mendapatkan kondom se-
cara  gratis,  para  remaja  jelas  diberi  ke-
sempatan  untuk  melakukan  perbuatan
amoral.  Dalam  ajaran  agama  apa  pun,
perilaku  seks  bebas  merupakan  per-
buatan  terlarang.    Dua,  fenomena  ini
menunjukkan bahwa dalam era reforma-
si, eksistensi dan penetrasi virus neolib-
eralisme masih terus menyerang kehidu-
pan  masyarakat,  menenggelamkan  adat
istiadat, dan nilai-nilai luhur bangsa.
Tiga,  "sindrom  kentut"  yang  melekat
pada  para  pengambil  kebijakan  Proyek
PKN,  terutama  jika  memang  benar
KPAN  dan  Kementerian  Kesehatan  me-
nolak  bertanggung  jawab  atas  proyek
ini.  Maka,  mereka  dapat  dikategorikan
masuk dalam kelompok golongan orang-
orang  "non-pribumi".  Sebab,  tindakan
semacam  ini  sepadan  dengan  yang  per-
nah  diungkapkan  oleh  John  Lie,  pahl-
awan  nasional  keturunan  Tionghoa:
"Orang pribumi adalah orang-orang Pan-
casilais,  Saptamargais  yang  jelas-jelas
membela kepentingan bangsa dan nega-
ra. Sedangkan orang non-pribumi adalah
mereka  yang  suka  korupsi  dan  merugi-
kan  kepentingan  nasional."  Megaproyek
PKN  2013  jelas  merugikan  kepentingan
bangsa, menghancurkan sendi-sendi bu-
daya nasional.
Empat,  secara  filosofis,  proyek  PKN
2013 adalah bentuk pelecehan terhadap
sendi  dan  dasar  Negara  Pancasila  dan
UUD 1945. Sebab, paradigma kebijakan-
nya  meniadakan    nilai  religius.  Sedan-
gkan  Indonesia  adalah  negara  religius
yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai aja-
ran agama dalam setiap kebijakan pem-
bangunannya.
Menyikapi  kondisi  semacam  ini,  saya
teringat  kepada  tokoh  besar  dunia  sep-
erti  Albert  Einstein  dan  Max  Planck—il-
muwan besar fisika Abad ke-20—yang
mengakui pentingnya agama dalam pen-
carian  ilmu.  Mereka  yakin  bahwa  tidak
ada  seorang  pun  mampu  mendapatkan
kebenaran  alam  semesta  jika  tidak  ter-
gugah  dan  takjub  mengagumi  alam  se-
mesta.  Pesan  pentingnya  adalah,  orang-
orang sebesar Einstein dan Planck yang
konon lahir dan tinggal di negara sekul-
er  saja  tidak  pernah  meninggalkan  aja-
ran  agama  tapi  mengapa  pengambil  ke-
bijakan PKN 2013 justru menisbikan ni-
lai keagamaan ini?
Sebagai koreksi, seharusnya setiap ke-
bijakan  pablik  mempertimbangkan  nilai
budaya  bangsa  dan  ajaran  agama.  In-
donesia merupakan negara besar, bena-
rkah?  Menjadi  kontradiktif  bila  "sin-
drom  kentut"  proyek  PKN  2013  memi-
liki  kohesivitas  dengan  ungkapan  Wis-
ton  Churchill,  "the  price  of  greatness  is
responsibility".  Bahwa  sebuah  bangsa
besar  ditentukan  oleh  kebesaran  para
pemimpinnya  dan  juga  kebesaran  sege-
nap warganya. Maka dengan kasus yang
sangat fenomenal pengaruhnya terhadap
keberlangsungan  pembangunan  bang-
sa  menuju  terwujudnya  generasi  emas,
kontroversi  mengenai  proyek  PKN  2013
dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi
kehidupan  berbangsa  dan  bernegara.
(Penulis  adalah  Wakil  Kepala  Seko-
lah SMPN 24 Jakarta)

 
 
HARIAN PELITA
Pembinaan Guru PAI
Minggu, 5 Januari 2014 |http://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a-.pnghttp://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a+.png
Oleh Asrofi
Kementerian
Pendidkan dan
Kebudayaan akan
mengambil alih urusan
guru setelah ternyata
otonomi daerah dalam
hal pendidikan tidak
berjalan dengan
baik. Urusan yang
ditangani pusat
mencakup perekrutan,
pembinaan,
pendistribusian,
hingga penyaluran
tunjangan sertifikasi.
Lantas, bagaimana
nasib 168.184 guru
Pendidikan Agama
Islam pada sekolah
umum? Apakah
Kementerian Agama
akan seiring sejalan
dengan Kemendikbud?
DERETAN  panjang  kompleksitas
permasalahan  guru  PAI  seolah
tak  berujung.  Dari  mulai  sia-pa  yang  wajib  mengadakan  perekrutan
guru  PAI?  Dimana  harus  didistribusi-kan? Bagaimana pembinaan selama ini
berjalan?  Sudahkah  pengawas  agama
mengadakan pembinaan dengan benar?
Kelangkaan guru PAI
Berdasarkan  Peraturan  Menteri
Agama  Nomor  16  Tahun  2010  tentang
Pengelolaan  Pendidikan  Agama  pada
Sekolah,  kewenangan  pengadaan  guru
PAI  pada  sekolah  dilakukan  oleh  ke-menterian  dan  atau  pemerintah  dae-rah, sebagaimana termaktub dalam pas-al  14  ayat  1  dan  2.  Realitas  di  lapan-gan  amanah  yang  tertuang  dalam  Per-aturan Menteri ini tidak terimplementa-si sebagaimana mestinya.
Perkembangan  untuk  lima  tahun  ke
depan  guru  PAI  pada  sekolah  umum
akan  mengalami  kelangkaan.  Menga-pa demikian?  
Satu,  ketika  Kementerian  Agama
mengadakan  perekrutan  CPNS,  jus-tru  terjadi  kontroversi  dengan  amanah
Peraturan Menteri tersebut, yakni guru
honorer PAI yang lulus seleksi CPNS Ke-menterian  Agama  tidak  otomatis  me-nerima  penugasan  di  sekolah  umum
tetapi ditempatkan pada madrasah (MI/
MTs/MA).
Dua,    berdasarkan  data  yang  ada,
guru  PAI  ber-NIP  daerah  masih  pada
kisaran  di  bawah  sepuluh  persen.
Hal  ini  menunjukan  minimnya  perha-tian  pemerintah  daerah  terhadap  ke-beradaan guru PAI.
 Eksistensi guru honorer
Proses  perjalanan  pendidikan  agama
pada sekolah seolah berjalan tanpa riuh
gemuruh suara jeritan yang menggeliat.
Ini  karena  eksistensi  guru-guru  honor-er tidak dapat dipandang sebelah mata.
Betapa  tingginya  peran  mereka  dalam
menjaga keberadaan pendidikan agama
di  sekolah.  Sehingga  sudah  sepatutnya
pemerintah,  dalam  hal  ini  Kementerian
Agama, berterima kasih kepada mereka.
Bertahun-tahun  bahkan  puluhan  ta-hun  mereka  hanya  menunggu  segera
diangkat.  Tapi  itu  hanya  sebuah  mim-pi belaka. Jangan biarkan mereka (seki-tar 52.933 guru PAI Honorer) terlantar.
Jika menelantarkan kehidupan mereka,
maka Kementerian Agama dan pemerin-tah daerah telah mengabaikan amanah
UUD  1945,  khususnya  Pasal  33  ten-tang  kesejahteraan  sosial  dan  undang-undang serta peraturan terkait.
Kemudian  berkaitan  dengan  tena-ga  honorer,  ini  menjadi  tanggung  jaw-ab  pemerintah  secara  umum  bila  kita
mengacu  kepada  PP  Nomor  56  Tahun
2012  Pasal  5  ayat  1    yang  berbunyi:
Dokter  yang  telah  selesai  atau  sedang
melaksanakan  tugas  sebagai  tenaga  ti-dak  tetap  atau  sebagai  tenaga  honorer
pada  fasilitas  pelayanan  kesehatan  mi-lik  pemerintah,  dapat  diaangkat  men-jadi  Calon  Pegawai  Negeri  Sipil  setelah
melalui  pemeriksaan  kelengkapan  ad-ministrasi."
Apa perbedaan profesi dokter dengan
profesi guru atau lainnya?
Pengawas guru PAI
Peranan pengawas pendidikan agama
sungguh  sangat  dominan  terhadap
perkembangan dan  peningkatan  mutu
para guru PAI di sekolah, yang tentun-ya akan berpengaruh lansung terhadap
kemajuan  pendidikan  agama  dan  tu-juan  pendidikan  nasional.  Dilihat  dari
sisi  kewenangannya,  apakah  Pengawas
Pendidikan  Agma  (PPA)  berbanding  lu-rus dengan kinerja di lapangan?
Disamping  sebagai  mediator  anta-ra  sekolah  dengan  Kementerian  Agama
kota/kabupaten yang akan melaporkan
bagaimana penyelenggaraan pendidikan
agama di sekolah, PPA juga berwenang
melakukan pemantauan, penilaian, dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan pen-didikan agama di sekolah, serta terlebih
penting  lagi  adalah  melakukan  pembi-naan  guru-guru  pendidikan  agama.
Apakah  kewenangan  dan  peran  yang
sangat strategis itu berjalan sebagaima-na mestinya?
Satu, minimnya tatap muka PPA den-gan guru PAI mengindikasikan rendahn-ya intensitas upaya peningkatan pembi-naan profesionalisme guru PAI.
Dua,  profesionalisme  PPA  di  lapan-gan  belum  menunjukan  kompetensin-ya  yang  kompetitif,  sebagai  seorang
manajer, supervisor, motivator, dan ino-vator.
Tiga,  perekrutan  PPA  masih  menga-cu  kepada  pasal  20  ayat  (2)  Permen
Agama RI Nomor 16 Tahun 2010, yaitu
PPA mayoritas  diangkat dari guru ma-drasah, yang secara psikologis akan ber-pengaruh  dalam  melaksanakan  tugas-nya  dikarenakan  lapangan  yang  dige-luti sekarang berbeda dengan lapangan
sebelumnya (MI/MTs/MA).
Demi  keberlangsungan  dan  terwu-judnya  mutu  pendidikan  agama  yang
kompetitif dan berkualitas, ada bebera-pa  langkah  sebagai  upaya  deteksi  dini
terhadap  keberadaan  dan  perkemban-gan guru PAI.
Pertama, kontinuitas koordinasi yang
teragenda  antarinstansi,  dalam  hal  ini
Kementerian Agama provinsi dan kota/
kabupaten  dengan  pemerintah  daerah
dan  dinas  pendidikan,  sangat  mendo-rong    percepatan  terwujudnya  penye-lesaian  terjadinya  kelangkaan  guru  PAI
PNS di sekolah.
Kedua,  untuk  meminimalisasi  ket-impangan hak guru PAI di sekolah, yak-ni  hak  struktural  karir  dan  kesejehter-aan,  maka  sebaiknya  perekrutan  guru
PAI di sekolah dilakukan oleh pemerin-tah daerah atau Kemendikbud. Sehing-ga  di  sisi  lain  keberadaan  guru  PAI  di
sekolah  terjamin  emansipasi  sosialnya,
baik karir maupun kesejahteraannya.
Ketiga,  konsekuensi  logis  dari  per-juangan para guru PAI honorer di seko-lah  kiranya  dapat    diminimalisasi  keti-dakadilan terhadap mereka.
Keempat,  perekrutan  PPA  sebaiknya
mengacu kepada Pasal 20 ayat (1) Per-men  Agama  RI  Nomor  16  Tahun  2010
yang diawali sosialisasi yang merata dan
diselenggarakan secara transparan. (Pe­
nulis adalah Wakil Kepala SMPN 24
Jakarta)
Dibaca 8 kali
 
 

HARIAN PELITA

Bencana dan Dehumanisasi

Senin, 17 Februari 2014 |http://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a-.pnghttp://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a+.png
Oleh Asrofi
Mengamati  
perilaku kehidupan
manusia dewasa
ini, berserakanlah
fenomena yang
mengidikasi
terjadinya degradasi
pemahaman diri
sebagai manusia.
Sehingga, dalam
mengarungi
predestinasinya (garis
hidup), manusia
tak mampu lagi
menapaki jejak yang
digariskan Sang
Pencipta. Fragmentasi
ini menggejala, baik
secara individual
maupun kelompok,
menghampiri seluruh
strata sosial.
FREDERIK  van  Eaden  yang  diku-tip  oleh  Fachry  Ali  dalam  buku
Agama,  Islam  dan  Pembaharuan,
sangat  kesal  melihat  ulah  manusia  mo-dern ini. Dia mengatakan, "Belum pernah
manusia terjebak dalam jala kusut kedu-staan yang besar seperti sekarang ini."
Persoalannya  sekarang  adalah  faktor
apa  yang  menyebabkan  fenomena  ini
merebak di semua lini kehidpan?
H Ensering berkata, "Didikan yang di-dasarkan  atas  tuntutan  ilmu  pengeta-huan  dan  kebutuhan  teknik  ialah  didi-kan  yang  mengutamakan  perkemban-gan akal semata. Didikan yang mempu-nyai  dasar  demikian  akan  menghasilk-an  orang  cerdik  dan  pandai  yang  mem-punyai pikiran sehat tetapi  mempunyai
asas  pikiran  yang  salah  dalam  pandan-gan dunianya (worldview)."
Tentunya secara struktur, manusia se-cara  organik  tidak  dapat  dipisah-pisah-kan:  didahulukan  atau  dipentingkan  di
antara  unsur-unsurnya.  Sebab,  ketika
satu unsur diutamakan dari unsur lain,
maka  ketimpangan  kehidupan  menjadi
fakta.  Di  era  informasi,  perkembangan
iptek yang mengglobal sungguh dahsyat
ini berimplikasi terhadap kehidupan ma-nusia dalam kapasitasnya sebagai makh-luk material. Sebagai makhluk spiritual,
manusia pun makin jauh tersungkur ke
alam gelap gulita.
Fenomena ini juga menjadi bagian tak
terpisahkan dari perilaku masyarakat In-donesia. Di sinilah berawal terjadinya ke-hampaan  dan  kelumpuhan  eksistensi
manusia (dehumanisasi).
Salah  satu  contoh  adalah  ketika
musim  penghujan  tiba.  Derasnya  air
mengguyur  hampir  seluruh  wilayah  Ta-nah  Air.  Masyarakat  dibuat  panik,  tak
terkecuali yang tinggal di Ibukota. Pada-hal,  hujan  bentuk  kasih  sayang  Tuhan
kepada makhluk-Nya. Hujan adalah rah-mat  yang  membawa  berkah:  tersimpan-nya air di bumi.
Persolannya,  mengapa  hujan  menjadi
musibah  (banjir)?  Ini  karena  kesalahan
manusia  dalam  mengelola  alam  (hilang-nya  kawasan  resapan)  dan  menjadi  sia-sialah air segar (hujan) yang seharusnya
akan membasuh kekeringan.
Apa  yang  kita  alami  terkait  banjir  ini,
menurut penulis, adalah bentuk kelum-puhan  eksistensial  manusia  (dehuman-isasi).  Inilah  yang  dikhawatirkan  oleh
Karl Jaspers, seorang filosof eksistensi-alis.  Dia  mengatakan,  "Despiritualization
of the word and its subjection to a regime."
(despiritualisasi  dunia  dan  ketundukan-nya  kepada  rezim  kemajuan  teknologi).
Realitas inilah yang terjadi tatkala hujan
yang  seharusnya  menjadi  berkah  justru
berubah  musibah.  Ini  karena  dominasi
teknologi  memandulkan  kearifan  manu-sia untuk hidup harmonis bersama alam.
Jauh  sebelum  Jaspers  mengatakan
hal  itu,  al-Quran  sudah  memperingat-kan,  "Pergunakanlah  apa  yang  di  muka
bumi  ini  sebagai  rahmat  Tuhan,  akan
tetapi janganlah kalian menjadi perusak
di muka bumi).
Bagaimana  kondisi  alam  kita  seka-rang?  Apakah  dataran,  lembah,  sungai,
gunung,  dan  lautan  yang  ada  di  hada-pan  kita  semua  masih  signifikan  den-gan  fungsinya?  Awan,  angin,  dan  lain
sebagainya  adalah  ciptaan  Tuhan  yang
bergerak  dan  berubah  mengikuti  perin-tah-Nya.  "Maka  sekali-kali  kamu  tidak
akan  menemui  perubahan  bagi  Sunnah
Allah,  dan  sekali-kali  tidak  pula  akan
menemui  penyimpangannya  bagi  Sun-nah  Allah  itu,"  demikian  firman  Allah
dalam al-Quran.
Banjir  yang  melanda  seluruh  wilayah
Indonesia  meluluhlantakan  hasil  keser-akahan  manusia.  Harta  benda  miliaran
rupiah  hilang.  Nyawa  manusia  melay-ang.  Jakarta  sebagai  pusat  pemerintah-an  lumpuh  total.  Sudah  seharusnya  ini
menjadi  bahan  kontemplasi  (renungan)
bersama sebagai refleksi kesadaran tran-sendental yang mewujud dalam perilaku
introspektif. (Penulis adalah Wakil Ke­
pala SMPN 24 Jakarta)
Dibaca 19 kali

More aboutArtikel-artikel yg sudah pernah terbit di Harian Pelita

Generasi Emas

Diposting oleh Asrofi on Selasa, 10 Februari 2015

Generasi Emas Vs Seks Bebas
Cita-cita luhur bangsa Indonesia tercinta yang tercantum secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV. Salah satu strategi untuk mempercepat terwujudnya cita-cita bangsa dan negara adalah dengan mempersiapkan generasi masa depan yang tangguh, cerdas, mandiri dan berpegang teguh pada nilai-nilai spiritualitas (diistilahkan Mendikbud sebagai "generasi emas" ). Dalam rangka mewujudkan kondisi tersebut, pemerintah melalaui Kemendikbud melakukan perubahan-perubahan dan pembaharuan serta inovasi dalam bidang pendidikan yakni dengan lahirlah Kurikulum 2013 untuk menjawab tantangan dan pergesesaran paradigma pembangunan Abad XXI, menyongsong era seratus tahun (2045) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta.
     Sementara dengan digulirkannya Proyek PKN 2013 yang kontraproduktif tersebut, sungguh sangat sulit dipahami, ke mana arah tujuan pembangunan bangsa. Di samping meningkatnya public distrus, proyek kontradiktif tersebut menimbulkan beragam permasalahan besar.
Satu, ketika para remaja mendapatkan kondom secara gratis, indikatornya mereka jelas diberikan kesempatan untuk melakukan perbuatan amoral, yang di dalam ajaran agama apapun perilaku seks bebas merupakan perbuatan terlarang.  Dua, fenomena ini menunjukkan bahwa dalam era reformasi ini, eksistensi dan penetrasi virus neoliberalisme masih terus menyerang kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, menenggelamkan adat istiadat dan nilai-nilai luhur bangsa.
Tiga, "sindrom kentut" yang melekat pada para pengambil kebijakan Proyek PKN, terutama jika memang benar KPAN dan Kemenkes RI  menolak bertanggung jawab atas proyek ini (Pelita Online, edisi 4/12 ), maka dapat dikategorikan masuk dalam kelompok golongan orang-orang non pribumi, karena tindakan semacam ini sepadan dengan yang pernah diungkapkan oleh John Lie Pahlawan Nasional keturunan Tionghoa. "Orang pribumi adalah orang-orang Pancasilais, Saptamargais yang jelas-jelas membela kepentingan bangsa dan negara. Sedangkan orang non pribumi adalah mereka yang suka korupsi dan merugikan kepentingan nasional".  Megaproyek PKN 2013 jelas merugikan kepentingan bangsa, menghancurkan sendi-sendi budaya nasional.
Empat, secara filosofis, proyek PKN 2013 adalah bentuk pelecehan terhadap sendi dan Dasar-Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945. Karena paradigma kebijakannya meniadakan  nilai religi. Sedangkan Indonesia adalah negara religius yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai ajaran agama dalam setiap kebijakan pembangunannya.
     Menyikapi kondisi semacam ini, teringat pada filosof-filosof besar dunia seperti Albert Enstin dan Max Planckilmuwan besar fisika Abad XX yang mengakui pentingnya agama dalam pencarian ilmu. Mereka yakin bahwa tidak ada seorangpun mampu mendapatkan kebenaran alam semesta, jika ia tidak tergugah dan takjub mengagumi alam semesta (Republika,  4/12 ). Pesan pentingnya adalah, orang-orang sebesar Albert Enstein dan Max Planck yang konon lahir dan tinggal di negara sekuler saja tidak pernah meninggalkan ajaran agama, tapi mengapa pengambil kebijakan PKN 2013 justru menisbikan nilai keagamaan ini?
Sebagai koreksinya, seharusnya setiap kebijakan pablik mempertimbangkan nilai-nilai budaya bangsa dan ajaran agama. Indonesia merupakan negara besar, benarkah? Menjadi kontradiktif bila "sindrom kentut" proyek PKN 2013 memiliki kohesivitas dengan ungkapan Wiston Churchill, "the price of greatness is responsibility". Bahwa sebuah bangsa besar ditentukan oleh kebesaran para pemimpinnya dan juga kebesaran segenap warganya. Maka dengan kasus yang sangat fenomenal pengaruhnya terhadap keberlansungan pembangunan bangsa menuju terwujudnya generasi emas, kontroversi mengenai proyek PKN 2013 dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)
 
Drs. Asrofi, MM, Wakil Kepala Sekolah SMPN 24 Jakarta

More aboutGenerasi Emas
 

Popular Posts

Pengikut